;

Golput


Istilah “golput” (kependekan dari golongan putih) memang sangat lekat dengan politik. Istilah ini muncul kali pertama di proklamasikan pada 3 Juni 1971, di Gedung Balai Budaya Jakarta, yang diperkenalkan oleh sejumlah kalangan aktivis muda saat itu, seperti Arief Budiman, Imam Waluyo, Julius Usman, Husin Umar, Marsilam Simanjuntak, dan Asmara Nababan. Golput adalah gerakan moral sebagai
bentuk protes terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan partai politik. Menurut Arief Budiman, UU Pemilu No.15/1969 tersebut telah mematikan kekuatan-kekuatan politik baru dalam pemilu selain partai politik yang ada dan golkar. Golkar sendiri dengan dukungan militer dinilai telah mengecewakan kalangan muda dan masyarakat karena dianggap telah menginjak-injak hak asasi dan demokrasi rakyat. (Kompas, Selasa, 24 Februari 2004).

Keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas politik jalanan, dengan menyuarakan golput kerap terjadi menjelang diadakannya perhelatan akbar pemilihan umum, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas kampaye golput. Menurut Jali (2004) golput terjadi disebabkan oleh majunya institusi pendidikan sebuah negara. Semakin maju, maka tingkat kedewasaan dan sikap rasional pemilih lebih tampak dari sekedar pola pragmatis, yang sekedar partisipan, ikut-ikutan dengan iming-iming sesaat atau janji-janji palsu. Mahasiswa sebagai elemen masyarakat, yang juga kelompok menengah dengan menjunjung aspek rasional dan idealis. Mahasiswa yang setuju golput di kampanyekan beralasan bahwa pemilu hanya sekedar mengukuhkan kempemimpinan status quo dan menguntungkan partai-partai besar, yang akhirnya akan mengantarkan tokoh-tokoh yang sama di puncak kekuasaan. Ada pula, dengan agak radikal, untuk memboikot pemilu, karena sekedar akan menjadi ajang kompetisi politisi-politisi busuk yang akan mengerogoti bangsa ini. Menurut Hartono (2008) gerakan mahasiswa yang selalu diposisikan sebagai gerakan ekstra-parlementer, gerakan moral yang mengekspresikan kepentingan rakyat, dianggap menjadi salah satu kelompok sosial yang paling rentan dengan sikap golput.

Muhtadi (2009) pemilih pemuda secara umum terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok apatis atau apolitis. Kelompok ini biasanya teralienasi dari sistem atau proses politik yang ada. Kedua, kelompok pemuda yang rasional atau kritis. Karakteristik pemuda yang rasional atau kritis bisa berujung pada dua hal: golput atau memilih partai. Pendapat yang hampir senada disampikan oleh As`ad (2009) mahasiswa cenderung bersikap apatis, apolitis dan kritis terhadap pemilu, lebih lanjut dikatakan pemilih muda (mahasiswa) terbagi menjadi dua kelompok, pertama kelompok apatis dan apolitis, kelompok yang biasanya teralienasi dari sistem atau proses politik yang ada. Kedua, kelompok rasional dan kritis, sehingga tidak mudah terbujuk slogan dan janji caleg atau capres dalam Pemilu 2009. "Berdasarkan kategori itu, jumlah mahasiswa yang akan golput dalam Pemilu cukup tinggi,"

Secara umum ditengarai oleh banyak kalangan bahwa tingginya angka golput dinilai sebagai sikap skeptis dan apatis masyarakat atau pemilih terhadap pelaksanaan pilihan Gubernur, pilihan Bupati atau Walikota, pilihan Legislatif maupun pilihan Presiden. Pemilih memandang pilgub, pilbup, pilwali, pileg, maupun pilpres tidak akan mengubah kehidupan yang ada. Artinya, tidak ada kepercayaan dari para pemilih terhadap kemampuan para calon dalam memperbaiki kondisi yang sedang terjadi.

Menurut Sujito (2008) faktor pendorong golput karena ketidakpuasan pada partai politik, sistem Pemilu, atau akumulasi frustasi politik dalam bentuk ketidakpercayaan pada mekanisme perubahan melalui Pemilu. Melihat bentuknya, golput bisa saja sebagai eskapisme-apatis, tapi yang menarik dan penting, golput sebagai gerakan perlawanan aktif.

Hasil kajian Marijan (2008) menyimpulkan secara umum, kemunculan golput di dalam pilkada secara langsung tidak berbeda dengan golput di dalam pemilu-pemilu yang lain. Golput itu lebih disebabkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan pemilih terhadap para politisi dan partai politik. Siapapun partai politik bersaing di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dipahami tidak jauh berbeda. Konsekuensinya, kelompok yang memahami demikian ini lebih cenderung untuk memilih tidak datang ke bilik-bilik pemungutan suara.

Di dalam pilkada, permasalahan golput semakin mengemukan ke permukaan karena beberapa sebab, antara lain. Pertama, proximity antara para politisi atau partai politik dengan para pemilih lebih dekat. Dengan demikian, di dalam melakukan penilaian, para pemilih demikian tidak hanya mengandalkan informasi yang didapat dari media massa dan elektronika, melainkan dari pengamatannya secara lebih dekat. Kedua, di dalam Pilkada, sebagaimana di dalam Pemilu-Pemilu, ruang adanya alternative calon itu terbatas. Adanya ‘party system’ di dalam proses pencalonan tidak memungkinkan tersalurkannya kelompok-kelompok yang ‘anti partai’. Dibukanya calon perorangan sekarang ini, paling tidak, memberi ruang adanya calon alternative itu. (dalam Marijan, 2008).

Di samping itu, kemunculan golput di dalam pilkada juga tidak lepas dari permasalahan yang lain. Rentang yang terlalu dekat antara pilkada dengan pemilu nasional serta masalah-masalah teknis seperti pendaftaran pemilih, sosialisasi, dan penetapan hari pilkada, juga memiliki kontribusi terhadap meningginya angka golput di dalam Pilkada (dalam Marijan, 2008).

Salah satu kelompok sosial di masyarakat yang rentan untuk menjadi golput adalah mahasiswa, hal ini karena tingkat pendidikan yang dimiliki mahasiswa untuk cenderung bertindak secara rasional dalam menentukan sikap politiknya, sikap golput ini karena tidak ada pilihan calon yang layak dan bersih untuk dipilih sehingga mahasiswa menentukan untuk golput, selain itu mahasiswa cenderung bersikap apatis, apolitis dan kritis terhadap pemilu, serta merupakan kelompok yang biasanya teralienasi dari sistem atau proses politik yang ada. Menurut Asfar (2004) perilaku non-voting (golput) disebabkan orientasi kepribadian pemilih yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomi, alienasi. Lebih lanjut dikatakan Asfar (2004) perasaan apatis sebenarnya merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Sedangkan anomi menunjuk pada perasaan tidak berguna, aktivitas politik dianggap sesuatu yang sia-sia, karena merasa tidak mampu untuk mempengaruhi atau kebijakan politik. Bagi pemilih semacam ini memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada di luar kontrol para pemilih. Sementara itu menurut Asfar (2004) alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh-terutama pengaruh baik-terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkian akan mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan semacamnya.






0 komentar:

Posting Komentar