;

Guru Kepulauan


Mendayung Diantara Dua Karang

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan,
Engkau patriot pahlawan bangsa,
Pahlawan tanpa tanda jasa … 
(‘hymne guru’)
 


Pendahulan

Potongan lagu ‘hymne guru’ di atas menunjukkan betapa berarti dan pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan seorang manusia dalam menjalani hidupnya. Guru berada di garis depan dalam memberi penyejuk dan kemajuan suatu bangsa. Tanpa guru, sistem yang dibangun tidak akan berhasil.

Guru bukan hanya “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” Namun “Pahlawan Pencerdasan Kehidupan Bangsa”, kita pahami bahwa kondisi yang dihadapi oleh para guru/tenaga pendidik masih sangat memprihatinkan. Penggambaran kondisi tersebut kita juga teringat bagaimana Iwan Fals mengilustrasikannya dalam sebuah kisah seorang guru yang bernama “Oemar Bakri” dengan segala keterbatasannya masih tetap mampu bekerja keras dengan ketekunannya mengabdikan diri pada generasi bangsa yang membutuhkan ilmu pengetahuan. Biarpun pun toh generasi (baca; anak didik) yang mendapatkan pendidikan yang dilakukannya, tidak seluruhnya membalas dengan perlakuan baik, sebab adakalanya ia mendapatkan cacian, bahkan mungkin juga perlakuan kasar yang dilakukan oleh anak didiknya. Namun begitu ia masih tetap tegar dan tabah penuh kesabaran sebagai seorang yang mempunyai tugas berat mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini berarti membuktikan dalam diri seorang Oemar Bakri sebagai personifikasi seorang guru masih tertanam semangat perjuangan mengisi kemerdekaan setelah sekian lama dibelenggu penjajah. Tugas yang harus diemban oleh seluruh warga bangsa yaitu pendidikan agar tidak terperosok dalam keterpurukan dan diremehkan oleh bangsa-bangsa lain.

“Sindrom Kompleks Guru”; Problematika Guru di Kepulauan Terpencil

Sampai saat ini masalah pendidikan, utamanya yang menyangkut guru di negara kita tidak pernah habis, bahkan terasa semakin lama semakin kompleks. Ketika ada satu kompleksitas problematika belum tersolusi secara tuntas dan komprehensif maka di sisi yang lain telah muncul problematika baru yang terkadang tidak kalah kompleksnya. Problematika guru di Indonesia sekarang telah berkembang menjadi fenomena yang sangat rumit; dari problematika klasik sampai dengan yang sangat aktual.

Kalau dicermati secara teliti kiranya ada tiga problematika klasik yang tengah dihadapi guru yang telah menyebabkan masih jauhnya kualitas dan profesionalitas dari optimalitas. Adapun ketiga problematika klasik yang dimaksud adalah sbb: pertama, kesejahteraan yang rendah, kedua, kualifikasi dan jabatan akademis yang rendah, serta ketiga pengalaman global yang rendah pula. Supriyoko (1996).

Pertama, kesejahteraan yang rendah, Sampai kini mengenai kesejahteraan guru- guru di kepulauan terpencil memang masih menjadi masalah. Pengabdian guru yang dikenal tinggi ternyata belum dapat terimbangi dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi pula. Gaji yang rendah, nafkah yang sering datang terlambat, potongan yang besar, penghasilan diluar gaji yang minim, dsb, merupakan masalah-masalah klasik yang tak pernah tersolusi secara tuntas. Penghasilan yang minim akan mengalami ketidakpastian kesejahteraan hidup diri dan keluarganya seorang guru, sehingga menyebabkan dorongan-dorongan lain di luar profesinya sebagai seorang guru/ tenaga pendidik, semisal harus mencari “obyekan” lain seperti; ngojek, buka warungan, menjadi tukang jahit, bengkel, les privat dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan untuk menambah pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga

Kedua, kualifikasi dan jabatan akademis yang rendah. Di dilihat dari jabatan akademik banyak ditemui guru- guru di kepulauan terpencil pada umumnya belum memiliki jabatan akademik yang tinggi; bahkan banyak di antaranya yang merasa sudah "mentok" tidak mampu lagi memenuhi persyaratan naik jabatan. Rendahnya kualifikasi dan jabatan akademik guru- guru di kepulauan terpencil tersebut berakibat langsung pada kualitas dan profesionalitas guru. Kalau sampai sekarang masih banyak ditemui guru yang tidak menguasai materi pelajaran (subject matter) secara memadai dan banyak guru yang tidak dapat menyampaikan pelajaran (metodology) secara profesional maka sebagian penyebabnya dapat dijelaskan dari variabel kualifikasi dan jabatan akademik tersebut.

Ketiga pengalaman global yang rendah pula. Mengenai wawasan dan pengalaman global tenaga kependidikan pada umumnya memang masih perlu ditingkatkan secara terus menerus. Secara jujur harus diakui bahwa sampai kini masih banyak para guru- guru di kepulauan terpencil yang kurang mempunyai wawasan global (global thinking) dan pengalaman global (global experience) secara memadai; padahal dua variabel ini merupakan persyaratan mutlak bagi terselenggarakannya pendidikan global (global education) sebagaimana yang harus dilakukan bagi bangsa yang ingin maju.

Pengalaman global itu sendiri bisa diperoleh secara tak langsung, misalnya melalui televisi, majalah, internet, dan media lainnya. Masih rendahnya kesejahteraan menyebabkan banyak diantara para guru- guru di kepulauan terpencil yang tidak mampu memiliki fasilitas media global secara memadai. Jangan heran kalau sampai kini masih banyak guru yang tidak mampu berlangganan koran, membeli televisi, membeli parabola, memasang telephone, mengakses internet, dsb. Pengalaman global tersebut juga bisa diperoleh dari kegiatan yang berlangsung; misalnya saja kegiatan ilmiah populer pada tingkat nasional maupun internasional.

“Mendayung Dua Karang”; antara Pengabdian dan Profesionalitas
   
Bagi seorang guru/tenaga pendidik mempunyai kewajiban untuk mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan dunia pendidikan dengan tanpa pamrih. Jargon pahlawan tanpa tanda jasa merupakan paling ampuh yang sampai sekarang diterapkan kepada para guru/ tenaga pendidik. Sehingga muncul sebuah semangat membara dalam diri guru/ tenaga pendidik untuk selalu bekerja keras walaupun berada di sebuah kawasan yang terpelosok/di kepulauan terpencil sekalipun. Tidak boleh mengeluh dengan kondisi yang ditemukan di lapangan yang menghambat jalannya proses belajar mengajar.

Selama ini para guru/tenaga pendidik menjalankan tugas lebih didasarkan pada panggilan hati nurani. Penghormatan dan penghargaan disematkan sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" menjadi apresiasi yang kerap merugikan. Dalam artian, keberhasilan memajukan kualitas pendidikan merupakan suatu tugas mulia dan pahlawan tidak perlu diberikan kapabilitas berkat jasa-jasanya. Tugas sebagai profesi guru/tenaga pendidik kerap dimarginalisasikan. Padahal, peran yang dijalankannya adalah membangun peradaban manusia agar lebih manusiawi, dengan aspek kognitif, keterampilan, sikap, dan perilaku.

Tonny D Widiastono (editor), dalam Buku “Pendidikan Manusia Indonesia” memberi contoh sosok guru yang pantang menyerah, tulus, ikhlas, terus berkarya dan berprestasi hebat. Profil Ny Liem Khing Nio (89) dan Dibyohadiatmodjo (88), guru pada zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman Kemerdekaan, Kedua sosok guru ini mengajar dan mendidik, sebagai bagian perjalanan dan panggilan hidup. Mereka memaknai tiap tindakan dan ucapan sebagai bagian perjalanan panjang untuk melayani anak manusia dalam sejarah peradaban. Para guru ini senantiasa bersinar di tengah gambaran suram dunia guru saat ini. (Lie, 2007).
Dalam bukunya, The Courage to Teach, Parker Palmer (2003) mengatakan, menjadi guru bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual (Pengabdian). Palmer juga berpendapat, dalam perjalanan profesinya, seorang guru terus mengaitkan tiga hal, yakni diri sendiri dengan anak didik dan bidang pengetahuan/keterampilan yang diampunya.

Mutu pendidikan menuntut guru dijadikan "tenaga profesional" (UU Sisdiknas 2003 Pasal 39:2) dan itu berarti guru secara aktif dilibatkan dalam pengambilan kebijakan pendidikan (nasional/lokal), dan pengetahuan, keterampilan profesional, status sosial, dan kesejahteraannya ditingkatkan secara terencana dan progresif.

Kunandar (2007) mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.

H.A.R. Tilaar (2002) menjelaskan pula bahwa seorang profesional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan.

Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Kunandar, 2007). Sedangkan Oemar Hamalik (2006) mengemukakan bahwa guru profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar.

Menurut Ki Supriyoko (2007) guru adalah sebuah profesi yang penyandangnya merupakan bagian dari tenaga profesional. Pada sisi yang lain untuk dapat menjalankan profesinya dengan baik diperlukan profesionalisme yang memadai. Guru seperti inilah yang dimaksudkan dalam UU Guru dan Dosen

Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap professional guru; yakni faktor internal dan faktor eksternal; Factor internal yang juga turut andil sebagai kendala menjadi seorang guru professional di kepulauan terpencil adalah rendahnya kualifikasi dan jabatan akademik guru- guru di kepulauan terpencil tersebut berakibat langsung pada kualitas dan profesionalitas guru (1996). Factor eksternal yang juga turut andil sebagai kendala menjadi seorang guru professional di kepulauan terpencil adalah jumlah peserta didik yang jauh tidak sebanding dengan jumlah pendidik. Data terakhir menyebutkan bahwa perbandingan guru dan murid di Indonesia adalah 1 : 40. Dimana setiap seorang guru harus menangani kurang lebih 40 orang siswa dalam satu kelas. Hal tersebut belum mencakup keseluruhan jumlah murid yang harus dididik apabila seorang guru harus mengajar lebih dari satu kelas. Sebagai contoh, guru bidang studi “A” harus mengajar 4 sampai 6 kelas yang masing-masing berisi 40 siswa. Bisa dibayangkan, masalah yang sudah ada pada guru tersebut dipastikan bertambah baik secara social maupun psikologi (Bima, 2010).

Langkah Nyata untuk Guru

Tak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah tenaga pendidik/guru-guru di kepulauan terpencil, study kasus di Kepulauan Sapeken, Kab Sumenep, Madura; langkah-langkah yang harus dilakukan adalah;

Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.

Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.

Ketiga, mengembangkan guru inspiratif; Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif (Rhenald. 2007). Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui. Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Perkumpulan Masyarakat Maritim Indonesia
Kontak email: masyarakatmaritim@yahoo.co.id






4 komentar:

Unknown mengatakan...

kasihan guru kita saat ini, masih gagap teknologi... dan juga mengajar di kota besar

salam blogger upn

Admin mengatakan...

trm ksh
iya kawan, begitu ironi bagi guru yg berbakti, tp tidak sedikit guru dianggap sbg penghasilan

User Android mengatakan...

Selamat Hari Kartini :D

Admin mengatakan...

sama2 kawan. terima kasih telah berkunjung

Posting Komentar