;

Guru Kepulauan

Mendayung Diantara Dua Karang

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan,
Engkau patriot pahlawan bangsa,
Pahlawan tanpa tanda jasa … 
(‘hymne guru’)
 


Pendahulan

Potongan lagu ‘hymne guru’ di atas menunjukkan betapa berarti dan pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan seorang manusia dalam menjalani hidupnya. Guru berada di garis depan dalam memberi penyejuk dan kemajuan suatu bangsa. Tanpa guru, sistem yang dibangun tidak akan berhasil.

Guru bukan hanya “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” Namun “Pahlawan Pencerdasan Kehidupan Bangsa”, kita pahami bahwa kondisi yang dihadapi oleh para guru/tenaga pendidik masih sangat memprihatinkan. Penggambaran kondisi tersebut kita juga teringat bagaimana Iwan Fals mengilustrasikannya dalam sebuah kisah seorang guru yang bernama “Oemar Bakri” dengan segala keterbatasannya masih tetap mampu bekerja keras dengan ketekunannya mengabdikan diri pada generasi bangsa yang membutuhkan ilmu pengetahuan. Biarpun pun toh generasi (baca; anak didik) yang mendapatkan pendidikan yang dilakukannya, tidak seluruhnya membalas dengan perlakuan baik, sebab adakalanya ia mendapatkan cacian, bahkan mungkin juga perlakuan kasar yang dilakukan oleh anak didiknya. Namun begitu ia masih tetap tegar dan tabah penuh kesabaran sebagai seorang yang mempunyai tugas berat mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini berarti membuktikan dalam diri seorang Oemar Bakri sebagai personifikasi seorang guru masih tertanam semangat perjuangan mengisi kemerdekaan setelah sekian lama dibelenggu penjajah. Tugas yang harus diemban oleh seluruh warga bangsa yaitu pendidikan agar tidak terperosok dalam keterpurukan dan diremehkan oleh bangsa-bangsa lain.

“Sindrom Kompleks Guru”; Problematika Guru di Kepulauan Terpencil

Sampai saat ini masalah pendidikan, utamanya yang menyangkut guru di negara kita tidak pernah habis, bahkan terasa semakin lama semakin kompleks. Ketika ada satu kompleksitas problematika belum tersolusi secara tuntas dan komprehensif maka di sisi yang lain telah muncul problematika baru yang terkadang tidak kalah kompleksnya. Problematika guru di Indonesia sekarang telah berkembang menjadi fenomena yang sangat rumit; dari problematika klasik sampai dengan yang sangat aktual.

Kalau dicermati secara teliti kiranya ada tiga problematika klasik yang tengah dihadapi guru yang telah menyebabkan masih jauhnya kualitas dan profesionalitas dari optimalitas. Adapun ketiga problematika klasik yang dimaksud adalah sbb: pertama, kesejahteraan yang rendah, kedua, kualifikasi dan jabatan akademis yang rendah, serta ketiga pengalaman global yang rendah pula. Supriyoko (1996).

Pertama, kesejahteraan yang rendah, Sampai kini mengenai kesejahteraan guru- guru di kepulauan terpencil memang masih menjadi masalah. Pengabdian guru yang dikenal tinggi ternyata belum dapat terimbangi dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi pula. Gaji yang rendah, nafkah yang sering datang terlambat, potongan yang besar, penghasilan diluar gaji yang minim, dsb, merupakan masalah-masalah klasik yang tak pernah tersolusi secara tuntas. Penghasilan yang minim akan mengalami ketidakpastian kesejahteraan hidup diri dan keluarganya seorang guru, sehingga menyebabkan dorongan-dorongan lain di luar profesinya sebagai seorang guru/ tenaga pendidik, semisal harus mencari “obyekan” lain seperti; ngojek, buka warungan, menjadi tukang jahit, bengkel, les privat dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan untuk menambah pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga

Kedua, kualifikasi dan jabatan akademis yang rendah. Di dilihat dari jabatan akademik banyak ditemui guru- guru di kepulauan terpencil pada umumnya belum memiliki jabatan akademik yang tinggi; bahkan banyak di antaranya yang merasa sudah "mentok" tidak mampu lagi memenuhi persyaratan naik jabatan. Rendahnya kualifikasi dan jabatan akademik guru- guru di kepulauan terpencil tersebut berakibat langsung pada kualitas dan profesionalitas guru. Kalau sampai sekarang masih banyak ditemui guru yang tidak menguasai materi pelajaran (subject matter) secara memadai dan banyak guru yang tidak dapat menyampaikan pelajaran (metodology) secara profesional maka sebagian penyebabnya dapat dijelaskan dari variabel kualifikasi dan jabatan akademik tersebut.

Ketiga pengalaman global yang rendah pula. Mengenai wawasan dan pengalaman global tenaga kependidikan pada umumnya memang masih perlu ditingkatkan secara terus menerus. Secara jujur harus diakui bahwa sampai kini masih banyak para guru- guru di kepulauan terpencil yang kurang mempunyai wawasan global (global thinking) dan pengalaman global (global experience) secara memadai; padahal dua variabel ini merupakan persyaratan mutlak bagi terselenggarakannya pendidikan global (global education) sebagaimana yang harus dilakukan bagi bangsa yang ingin maju.

Pengalaman global itu sendiri bisa diperoleh secara tak langsung, misalnya melalui televisi, majalah, internet, dan media lainnya. Masih rendahnya kesejahteraan menyebabkan banyak diantara para guru- guru di kepulauan terpencil yang tidak mampu memiliki fasilitas media global secara memadai. Jangan heran kalau sampai kini masih banyak guru yang tidak mampu berlangganan koran, membeli televisi, membeli parabola, memasang telephone, mengakses internet, dsb. Pengalaman global tersebut juga bisa diperoleh dari kegiatan yang berlangsung; misalnya saja kegiatan ilmiah populer pada tingkat nasional maupun internasional.

“Mendayung Dua Karang”; antara Pengabdian dan Profesionalitas
   
Bagi seorang guru/tenaga pendidik mempunyai kewajiban untuk mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan dunia pendidikan dengan tanpa pamrih. Jargon pahlawan tanpa tanda jasa merupakan paling ampuh yang sampai sekarang diterapkan kepada para guru/ tenaga pendidik. Sehingga muncul sebuah semangat membara dalam diri guru/ tenaga pendidik untuk selalu bekerja keras walaupun berada di sebuah kawasan yang terpelosok/di kepulauan terpencil sekalipun. Tidak boleh mengeluh dengan kondisi yang ditemukan di lapangan yang menghambat jalannya proses belajar mengajar.

Selama ini para guru/tenaga pendidik menjalankan tugas lebih didasarkan pada panggilan hati nurani. Penghormatan dan penghargaan disematkan sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" menjadi apresiasi yang kerap merugikan. Dalam artian, keberhasilan memajukan kualitas pendidikan merupakan suatu tugas mulia dan pahlawan tidak perlu diberikan kapabilitas berkat jasa-jasanya. Tugas sebagai profesi guru/tenaga pendidik kerap dimarginalisasikan. Padahal, peran yang dijalankannya adalah membangun peradaban manusia agar lebih manusiawi, dengan aspek kognitif, keterampilan, sikap, dan perilaku.

Tonny D Widiastono (editor), dalam Buku “Pendidikan Manusia Indonesia” memberi contoh sosok guru yang pantang menyerah, tulus, ikhlas, terus berkarya dan berprestasi hebat. Profil Ny Liem Khing Nio (89) dan Dibyohadiatmodjo (88), guru pada zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman Kemerdekaan, Kedua sosok guru ini mengajar dan mendidik, sebagai bagian perjalanan dan panggilan hidup. Mereka memaknai tiap tindakan dan ucapan sebagai bagian perjalanan panjang untuk melayani anak manusia dalam sejarah peradaban. Para guru ini senantiasa bersinar di tengah gambaran suram dunia guru saat ini. (Lie, 2007).
Dalam bukunya, The Courage to Teach, Parker Palmer (2003) mengatakan, menjadi guru bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual (Pengabdian). Palmer juga berpendapat, dalam perjalanan profesinya, seorang guru terus mengaitkan tiga hal, yakni diri sendiri dengan anak didik dan bidang pengetahuan/keterampilan yang diampunya.

Mutu pendidikan menuntut guru dijadikan "tenaga profesional" (UU Sisdiknas 2003 Pasal 39:2) dan itu berarti guru secara aktif dilibatkan dalam pengambilan kebijakan pendidikan (nasional/lokal), dan pengetahuan, keterampilan profesional, status sosial, dan kesejahteraannya ditingkatkan secara terencana dan progresif.

Kunandar (2007) mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.

H.A.R. Tilaar (2002) menjelaskan pula bahwa seorang profesional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan.

Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Kunandar, 2007). Sedangkan Oemar Hamalik (2006) mengemukakan bahwa guru profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar.

Menurut Ki Supriyoko (2007) guru adalah sebuah profesi yang penyandangnya merupakan bagian dari tenaga profesional. Pada sisi yang lain untuk dapat menjalankan profesinya dengan baik diperlukan profesionalisme yang memadai. Guru seperti inilah yang dimaksudkan dalam UU Guru dan Dosen

Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap professional guru; yakni faktor internal dan faktor eksternal; Factor internal yang juga turut andil sebagai kendala menjadi seorang guru professional di kepulauan terpencil adalah rendahnya kualifikasi dan jabatan akademik guru- guru di kepulauan terpencil tersebut berakibat langsung pada kualitas dan profesionalitas guru (1996). Factor eksternal yang juga turut andil sebagai kendala menjadi seorang guru professional di kepulauan terpencil adalah jumlah peserta didik yang jauh tidak sebanding dengan jumlah pendidik. Data terakhir menyebutkan bahwa perbandingan guru dan murid di Indonesia adalah 1 : 40. Dimana setiap seorang guru harus menangani kurang lebih 40 orang siswa dalam satu kelas. Hal tersebut belum mencakup keseluruhan jumlah murid yang harus dididik apabila seorang guru harus mengajar lebih dari satu kelas. Sebagai contoh, guru bidang studi “A” harus mengajar 4 sampai 6 kelas yang masing-masing berisi 40 siswa. Bisa dibayangkan, masalah yang sudah ada pada guru tersebut dipastikan bertambah baik secara social maupun psikologi (Bima, 2010).

Langkah Nyata untuk Guru

Tak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah tenaga pendidik/guru-guru di kepulauan terpencil, study kasus di Kepulauan Sapeken, Kab Sumenep, Madura; langkah-langkah yang harus dilakukan adalah;

Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.

Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.

Ketiga, mengembangkan guru inspiratif; Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif (Rhenald. 2007). Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui. Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Perkumpulan Masyarakat Maritim Indonesia
Kontak email: masyarakatmaritim@yahoo.co.id
| | 4 komentar Read More...

Pendidikan Berbasis Kepulauan Terpencil

Study Kasus di Kepulauan Sapeken, Kab Sumenep, Madura

Dari segi sistem, pendidikan di Indonesia lebih dikenal dengan sistem pendidikan nasional yang berisi penyeragaman, baik dari segi kurikulum, model, tenaga didik maupun tata aturannya. Kalaupun telah terjadi beberapa perubahan, misalnya dengan memasukkan muatan lokal kedalam kurikulum, itu belum menyentuh persoalan mendasar yang dihadapi pendidikan kita, yaitu pembentukan kualitas peserta didik dalam bidang keilmuan, kerohanian, dan mentalitas. Di sisi lain, model penyeragaman berstandar nasional yang ditentukan dari pusat belum melihat adanya perbedaan tingkat pemahaman peserta didik akibat adanya keberjarakan letak geografis dan juga akses informasi pengetahuan.

Akibatnya, para peserta didik yang berada di suatu daerah ‘terpencil’ mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi dan akses pengetahuan, sedangkan peserta didik yang berada di pusat-pusat kota semakin jauh berlari di depan dengan setumpuk pengetahuan berada di kantung pemikirannya. Jika di masa lalu orang-orang banyak mengatakan bahwa tempat terpencil dan orang miskin bisa saja bersaing dengan mereka yang berada di kota dan anak-anak orang kaya, tetapi di masa kini kenangan tersebut telah menjadi mitos.

Hal ini disebabkan oleh tuntutan dunia informasi yang semakin cepat di mana standar kualitas pendidikan secara intelektual sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan peserta didik menyerap informasi yang semakin mengglobal itu.
Ketimpangan Pendidikan
   
Jawa Timur juga menghadapi permasalahan kesenjangan kualitas pendidikan penduduk antar kabupaten/kota. Persentase penduduk yang berpendidikan tinggi (lulus perguruan tinggi) pada masing-masing kabupaten/kota sangat kecil, yakni di bawah 10%. Penduduk yang berpendidikan tinggi berada di wilayah-wilayah Kota Jawa Timur seperti Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Madiun dan Kota Mojokerto ditambah Kabupaten Sidoarjo dengan persentase masing-masing di atas 5%. Sementara, di kabupaten-kabupaten wilayah pantai utara dan semua kabupaten di wilayah tapal-kuda (termasuk Madura) kecuali Kabupaten Sidoarjo, persentase penduduk yang berpendidikan tinggi relatif kecil, yakni di bawah 2%. Suryadharma (2003).

Disparitas dalam dunia pendidikan ini juga terefleksi dari persentase angka buta huruf pada masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur. Persentase angka buta huruf pada wilayah-wilayah Kota di Jawa Timur plus Kabupaten Sidoarjo tergolong rendah dibandingkan dengan daerah belahan lain di Jawa Timur, yaitu dengan persentase di bawah 6%. Sementara di Wilayah Madura dan kabupaten-kabupaten di wilayah Jawa Timur bagian timur (Kabupaten Probolinggo, Lumajang dan sebagainya) persentase angka buta hurufnya tergolong tinggi (di atas 20%, bahkan ada yang mencapai lebih dari 35%). Suryadharma (2003).

Selain itu, potret disparitas dalam dunia pendidikan kita juga dapat dicermati dari angka partisipasi, baik angka partisipasi murni (APM) maupun angka partisipasi kasar (APK). APM pada beberapa daerah (kota) ada yang mencapai angka lebih dari 60, sementara APM pada beberapa daerah lainnya hanya berada pada kisaran 10. Untuk APK, pada beberapa daerah bahkan mencapai angka lebih dari 200, sedangkan beberapa daerah lain berada di bawah angka 20. Tak berbeda dengan uraian sebelumnya, APM dan APK yang tinggi umumnya berada di wilayah Kota-Kota, sementara di Wilayah Madura dan kabupaten-kabupaten wilayah Jawa Timur bagian timur (Kabupaten Probolinggo, Lumajang dan sebagainya) ber-APM dan APK rendah. Suryadharma (2003).

Fakta di atas mendeskripsikan bahwa sebenarnya program-program pembangunan pendidikan tidak saja menyangkut problem perbaikan kualitas namun juga problem pemerataan atau setidak-tidaknya pengeliminasian disparitas. Program-program pembangunan pada sektor pendidikan seharusnya diarahkan tidak saja untuk memenuhi target peningkatan kualitas, namun yang tak kalah penting adalah “membangun rasa keadilan” dalam mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan.

Problema pemerataan inilah sebenarnya yang menjadi pemicu utama arus urbanisasi, masalah klasik yang belum terselesaikan hingga kini. Penduduk yang kurang mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan lebih baik pada suatu daerah yang ditempati akan terstimulan untuk berpindah menuju daerah yang di rasa lebih memberi harapan. Selesai menamatkan pendidikan tinggi, tentunya kemudian mereka memilih pula profesi yang lebih baik, setara jenjang pendidikan tinggi yang mereka miliki. Di kota-kota besar, umumnya lebih banyak terdapat pilihan profesi menjanjikan dibandingkan dengan kota kecil ataupun daerah pinggiran. Atas dasar inilah, para migran pada akhirnya memilih menetap di kota-kota besar dan menciptakan konsentrasi penduduk. Selain faktor pendidikan dan profesi yang dirasa lebih menjanjikan, migrasi juga distimulasi oleh faktor-faktor lain seperti kurang memadainya sarana dan prasarana di wilayah asal.

Sumenep dan Pendidikan Berbasis kepulauan

Awalnya, dengan adanya Otonomi Daerah maka penyebaran pendidikan bisa dilakukan dengan baik karena standar kemampuan pendidikan tidak lagi merujuk pada standar nasional. Tetapi, kenyataan itu menjadi sangat lain karena sampai saat ini mutu pendidikan masih harus merujuk pada standar mutu pendidikan berskala nasional dengan salah satu ukurannya adalah Ujian Nasional (UN). Mungkin, bagi kota-kota besar yang mudah melakukan akses informasi pengetahuan dan mendapatkan fasilitas yang cukup, maka standar tersebut tidak menjadi masalah. Tetapi jika menengok ke berbagai daerah, di mana fasilitas pendukung pendidikan (guru, perpustakaan, gedung sekolah, internet, bahan ajar) masih minimal, maka hampir pasti mengalami ketertinggalan

Di sisi lain, ukuran kemampuan intelektualitas peserta didik juga hanya didasarkan pada penyerapan ilmu pengetahuan umum melalui keberhasilan menjawab soal-soal ujian. Sehingga penajaman kualitas pendidikan dari segi mental dan spiritual kerapkali terabaikan. Fungsi pendidik yang dulu bukan hanya sebagai penyalur pengetahuan umum melainkan juga pendorong leburnya nilai-nilai spiritual dan mental kini mulai pudar karena peserta didik selalu merasa tertuntut untuk mengejar standar kualitas berskala nasional itu.

Sumenep merupakan kabupaten kepulauan, sehingga dengan sistem pendidikan yang masih berpusat di kota-kota besar maka sampai kapanpun akan sulit mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan. Kalaupun standar mutu pendidikan berskala nasional itu masih dipertahankan, maka dalam konteks sumenep perlu dilakukan beberapa hal penting sebagai berikut.
  1. Pertama, Di masing-masing pulau harus dibuat titik-titik pendidikan berkualitas tinggi yang bisa diakses oleh semua pihak. Dengan pembuatan titik-titik pendidikan berkualitas tinggi itu, seluruh masyarakat di pulau tersebut tidak harus mengejar untuk pergi keluar pulau demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
  2. Kedua, di setiap titik-titik pendidikan harus didukung oleh fasilitas yang memadai, mencakup ketersediaan dan penambahan tenaga didik yang mumpuni khusus untuk pelajaran-pelajaran tertentu, gedung sekolah, perpustakaan yang baik, dan juga fasilitas internet yang bisa menjadi pendukung untuk mendapatkan informasi dari seluruh sudut dunia. 
  3. Ketiga, perlu dilakukan penyesuaian paradigma pendidikan, tidak hanya berorientasi pada pengejaran kualitas pendidikan berskala nasional melainkan juga berbasis kedaerahan yang berkepulauan. Peserta didik juga harus diperkenalkan secara mendalam pada kondisi dan potensi lingkungannya yang melimpah dan juga plural sehingga akan memupuk kualitas mental dan spiritual peserta didik
  4. Keempat, terus diupayakan pelayanan pendidikan yang tidak hanya gratis bagi seluruh masyarakat sumenep, tetapi juga dukungan moral dan kesadaran dari seluruh masyarakat bahwa pendidikan merupakan bidang yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat di masa depan.

Perkumpulan Masyarakat Maritim Indonesia
Kontak email: masyarakatmaritim@yahoo.co.id


“Indonesia merupakan negara laut utama yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut”.

“Warisan kerajaan-kerajaan konsentris yang hanya mementingkan pusat yang di pedalaman masih hidup dalam sikap dan orientasi masyarakat kini,” ungkap Adrian B. Lapian.

walau pun sesungguhnya lebih dari separuh wilayah Republik Indonesia terdiri dari laut dan banyak orang yang menggantungkan diri secara langsung atau pun tidak langsung pada laut.
| | 2 komentar Read More...

Memenuhi Janji Kemerdekaan


Konon dalam sebuah diskusi bung hatta mencetuskan ide kemerdekaan bangsa Indonesia, ide tentang kemerdekaan pada saat itu tentu dianggap mustahil dilakukan oleh seorang hatta yang ketika itu masih menempuh pendidikan di negeri belanda, banyak sejawat Bung Hatta dikelompok diskusi merasa mustahil untuk dilakukan bangsa Indonesia seorang diri, pandangan ini tentu saja melisik latar sejarah bangsa indonesia yang selama tiga setengah abad dalam kungkungan penjajahan bangsa asing. Tapi tekad Hatta Muda melunturkan keraguan sebagian kawan- kawannya di kelompok study club mahasiswa Indonesia di negeri belanda.

Latar sejarah yang sekian abad dibawah kungkungan penjajahan asing, tentu saja mempengaruhi cara berpikir mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di negeri belanda. Ide tentang kemerdekaan bak memindah surga di bumi, sesuatu yang hanya sekali terlintas dalam pikiran tanpa mampu untuk mewujudkan dalam alam nyata, tapi tekad Hatta Muda sudah bulad, jalan kemerdekaan adalah satu-satunya. 

Keteguhan Hatta Muda, akan jalan kemerdekaan tentu saja dilatarbelakangi pembacaan masyarakat Indonesia secara riil dan berkaca pada negara-negara barat, dimana dia menempuh pendidikannya. Jalan kemerdekaan adalah jalan suci untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, hanya dengan kemerdekaanlah kita mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia dari kubangan kemiskinan, dengan kemerdekaan pula kita lebih mudah untuk mengatur bangsa sendiri, begitu urai Hatta Muda untuk meneguhkan kawan-kawannya dikelompok study club mahasiswa Indonesia di negeri belanda akan “jalan kemerdekaan”.

Melepaskan dari belenggu kolonialisme, dan membentuk negara sendiri yang merdeka, akan lebih memudahkan bangsa Indonesia untuk mengatur dirinya sendiri, dengan sengenap sumber daya yang ada, segala upaya dapat dilakukan untuk menuntaskan kemiskinan yang hampir absolud melekat pada bangsa Indonesia dimasa penjajahan bangsa-bangsa asing.

Bung Hatta lelaki yang bertubuh kecil dan pemalu dengan lawan jenisnya ini, telah menjadi bagian terpenting dari sejarah bangsa Indonesia, dari buah pikirannyalah lahir ide kemerdekaan bangsa ini. Kini sudah 66 tahun proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia telah dikumandangkan oleh sang dwitunggal bangsa Indonesia Soekarno-Hatta. Tugas generasi sekarang tentu saja mengisi dan memberi warna akan janji kemerdekaan yang telah terucap 66 tahun silam.

Memberi warna pada alam yang sudah merdeka, dapat dilakukan dengan mewujudkan janji kemerdekaan, perwujudannya dapat dilakukan oleh siapapun individu untuk mengisi kemerdekaan, menunaikan tugas pekerjaannya dengan sungguh-sunguh dan penuh loyalitas adalah bagian dari cinta setia pada pada janji kemerdekaan yang telah terucap. Tapi tentu ironi di negeri yang sudah merdeka ini dua pahlawan yang penuh dedikasi dan pengabdian pada Negara, sedang/akan menapaki hari-hari yang kelam dibalik jeruji penjara, Sdr. Bambang Subekti dan Sdr. Frans Huwae sedang bertugas menjalankan perintah Negara untuk melakukan penertiban lahan dalam DLKR/DLKP Pelabuhan Tanjung Emas, apa yang dilakukan Sdr. Bambang Subekti dan Sdr. Frans Huwae adalah bagain dari menjalankan tugas mulia untuk mengamnkan asset-asset Negara dari tangan- tangan yang manusia rakus dan haus akan kuasa, Ia  kini bukan sedang berhadapan dengan moncong senjata kolonialis belanda, tetapi sedang menghadapi sesame anak bangsa Indonesia sendiri.

Sungguh ironis memang, apa yang saat ini menimpa pada 2 (dua) orang pegawai PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, loyalitas dan dedikasinya pada pekerjaan dengan melaksanakan dan mempertahankan aset Negara bukannya diganjar dengan penghargaan dan perlindungan oleh Negara sebaliknya justru sanksi pidana yang mengancam.

Bung Karno, dalam satu waktu berkata “bahwa tugas negerasikoe jauh lebih muda, karena hanya mengusir kaum penjajah pergi dari bumi pertiwi”. Tetapi tugas negeri muda sekarang jauh lebih sulit karena berhadapan dengan musuh dari dalam bangsa indonesia sendiri”. Ucapan Bung Karno ini menemukan pijakan empirisnya pada hari ini sebagaimana yang menimpa Sdr. Bambang Subekti dan Sdr. Frans Huwae.

Darsono
Perkumpulan Masyarakat Maritim Indonesia
Kontak email: masyarakatmaritim@yahoo.co.id
| | 3 komentar Read More...

Investasi Asing


Mereka Yang Untung, Kita Yang Buntung

Kesejahteraan dan keluar dari belenggu kemiskinan, merupakan kata kunci untuk menjelaskan, kenapa suatu Negara melibatkan asing (investasi asing) dalam proses pembangunannya. Para intelektual liberal dalam memandang suatu bangsa agar keluar dari kemelut/belenggu kemiskinan yakni dengan mengintegrasikan diri dengan dunia luar/asing, dengan pengintegrasian ini diharapkan akan terjadi difusi modal, teknologi, dan transformasi institusi-institusi modern yang berasal dari barat.

Pandangan ini kemudian menuai kritik yang hebat ditahun 1965, oleh sebagain besar kalangan intelektual di
Amerika Latin, pada tahun sama diadakan pertemuan di Kota Mexiko, yang dihadiri hampir seraturan kalangan ekonom yang berasal dari Amerika Latin, mereka berkumpul untuk memecahkan satoe persoalan, kenapa negara-negara di Amerika Latin dan bangsa-bangsa yang menghuni di Amerika Latin masih berada dalam kemiskinan. Pertemuan ini kemudian menghasilkan apa yang kita kenal “Deklarasi Ekonomi Amerika Latin”, yang pada intinya bahwa pembangunan suatu bangsa haruslah dilihat aspek-aspek struktural yang melandasi suatu bangsa. 

Pada tahun yang hampir bersamaan/tidak berselang begitu lama kita mengalami ganjang-ganjing politik yang luar biasa hebat. Peristiwa tahun 1966 Proses penjatuhan presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, rezim yang populer dan didukung rakyat dan tidak disukai barat karena kebijakan-kebijakan politiknya yang selalu berpihak pada rakyat. kemudian dijatuhkan oleh Soeharto dengan bantuan
Amerika Serikat (Kapitalisme), tampilnya sosok jenderal Soeharto ditampuk kekuasaan dengan Orde Barunya, pada saat inilah kepentingan-kepentingan asing (Kapitalisme Internasional) dengan mudah masuk ke Indonesia. Sejatinya rezim Orde Baru hanya menjadi kaki tangan dari kepentingan-kepetingan kapitalisme internasional, ini dapat dibaca bahwa undang-undang yang pertama kali yang dibuat ketika rezim Soeharto berkuasa, yakni undang- undang Nomor 1 Tahun 1967 “Tentang Penanaman Modal Asing”.

Alarm dari Amerika latin, tidaklah dibaca oleh kalangan teknokrat yang menjadi arsitek pembangunan Orde baru, bahwa pembangunan yang pertama-pertama yang harus dilihat adalah dimensi-dimensi struktural yang telah melingkupi suatu bangsa. Tetapi oleh para teknokrat yang menjadi arsitek orde baru, pembangunan lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan asing di Indonesia. Para teknokrat berasumsi bahwa dengan semakin banyaknya orang asing ke Indonesia untuk berinvestasi, dengan sendiri akan memicu pertumbuhan ekonomi, yang dengan sendirinya akan menimbulkan multiple effect dengan kesejahteraan rakyat. (asumsi tickle down effect)

Para teknokrat ini berkeliling Eropa menawarkan bumi dan kakayaan alam bangsa Indonesia yang seperti gadis perawan dan belum terjamah. Meminta para pangeran-pangeran (pemilik modal) untuk berinvestasi di Indonesia. Meraka para teknokrat memberikan keleluasaan pada para pangeran eropa untuk menjamah kekayaan alam bangsa indonesia yang masih gadis perawan, mulai dari hak pengelolaan tambang, mineral, hutan untuk dieksplotasi, dengan jaminan tidak akan diganggu oleh masyarakat, karena ada aparat keamanan yang akan selalu siaga menjaga kepentingan-kepentingan asing di Indonesia.

Adanya jaminan keamanan dirasa tidaklah cukup, para teknokrat orde baru ini memberikan insentif yang menggiurkan bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia; insentif ini akan memberikan keuntungan lebih dibanding kalau mereka (pangeran), berinvestasi di negeri asalnya, insentif yang didapat seperti; Pembebasan pajak terhadap keuntungan perusahaan sampai enam tahun bagi proyek-proyek yang diutamakan, dan dapat diperpanjang oleh pemerintah; Pembebasan pajak deviden pada tahun yang sama; pembebasan dari pajak material modal pada saat mulai investasi modal asing; Pembebasan dari bea masuk import untuk peralatan mesim, alat-alat dan kebutuhan awal pabrik; Pembebasan dari pajak harta benda; Hak mentransfer keuntungan yang sedang berlangsung dalam mata uang asal (Mas’oed, 1989).

Insentif dan jaminan keamanan dari penguasa, menjadikan para investor asing leluasa untuk menjamah dan menguras habis kekayaan alam yang terkandung dari bumi pertiwi, hutan yang masih perawan menjadi gundul, gugusan pengunungan yang elok nan indah menjadi dataran yang gersang, mineral yang berada berada didalam bumi disedot, menjadi lorong-lorong yang gelap.

Kebijakan mendorong investasi asing yang dilakukan orde baru bukanlah tanpa kritik, ada banyak suara yang mencoba mengingatkan akan dampak buruk dari investasi asing di Indonesia ini; para pengkritik ini tidaklah anti investasi asing, mereka (pengkritik) melihat bahwa harus dipersiapkan “jaring-jaring” pengaman sebelum memulai liberalisasi. Tanpa adanya jaring pengaman/regulasi, ikan-ikan yang kecil (pengusaha dalam negeri), akan dengan mudah dilahap ikan yang lebih besar (pemodal internasional), para pengkritik melihat orde baru tidak siap dengan perangkat regulasi/jaring pengaman, dan lebih mengendepankan mekanisme pasar bebas untuk menjadi hakim ekonomi. Sebagian para pengkritik lain melihat, bahwa tidak semua sektor ekonomi membutuhkan investasi asing untuk masuk didalamnya, karena tidak semua pabrik membutuhkan teknologi tinggi dalam menjalankan aktivitas produksinya.

Dampak lain investasi asing yang serampangan dan tanpa jaring pengaman menunjukkan repatriasi keuntungan yang relatif besar ke negeri asal (eropa barat), study yang dilakukan Do Santos di
Amerika latin menunjukkan bahwa; selama periode 1946-1967, perbandingan antara modal yang ditransfer ke luar negeri dengan modal yang masuk ke negera-negara Amerika Latin adalah sebesar 2,7:1. Ini bermakna bahwa setiap US$1 yang masuk ke negara-negara Amerika Latin, akan diikuti dengan US$ 2,7 yang keluar. Perbandingan ini sesudah tahun enam puluhan diperkirakan menjadi dua kali lipat yaitu sebesar 5,4:1. (Aries & Sasono 1981).

Data-data ini mengkorfirmasi bahwa, kebijakan ekonomi yang serampangan, dalam pengertian investasi asing yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi perekonomian suatu negara secara masif dan sistemik pada kelanjutannya, kalau tidak mau dikatakan telah terjadi perampokan secara besar-besaran oleh kapitalisme internasional. Fakta-fakta yang terjadi di
Amerika latin tidaklah berdiri sendiri, atau hanya menjadi fenomena yang terjadi dibelahan Amerika Latin saja, tetapi juga terjadi di Indonesia, study yang dilakukan Sritua Arief (1998), menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1973-1990 arus masuk investasi asing secara kumulatif adalah sebesar US$ 5,8 Milyar dollar, sedangkan nilai kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri adalah sebesar US$ 58,9 Milyar dollar. Dengan membandingkan kedua angka ini, maka satu dollar Amerika Serikat yang dimasukkan investor asing ke Indonesia telah diikuti dengan mengalirnya sumber keuntungan dengan nilai sepuluh kali lipat, dari ekonomi indonesia.

Fakta ini semakin menunjukkan bahwa investasi asing yang tanpa kendali akan menjadi boomerang bagi suatu negara yang sedang membangun, harapan akan adanya kesejehteraan rakyat dari modal asing yang mengalir di Indonesia, sebagaimana yang dianut oleh para ekonom-ekonom yang bermahzab liberal, tentu akan sekedar menjadi harapan saja, fakta yang terjadi kekayaan alam bangsa indonesia akan terkuras habis, dan keuntungan akan terus lari ke luar negeri (mereka yang untung), dan meninggalkan kerusakan alam akibat eksploitasi kekayaan alam yang terkendali (kita yang buntung).

Terima Kasih
Selamat Belajar
| | 0 komentar Read More...

Gerakan Mahasiswa

Sejenak teringat waktu menjalani study sebagai mahasiswa di salah satu Universitas swasta di Surabaya angkatan tahun 2001, momentum-momentum penting tidak luput dari analisis kita, tidak luput dari peranan kawan-kawan waktu itu, dulu teman-teman aktivis gerakan seangkatanku ketika diskusi selalu melontarkan kalimat ‘kita adalah agen perubahan, kita yang selalu membela rakyat kecil yang tertindas’. Hali ini tidak luput dari peranan perjuangan dan kesejarahan kawan-kawan gerakan semenjak negeri ini belum merdeka. Kita akan melihat kembali kesejarahan dari generasi ke generasi gerakan mahasiswa di Indonesia.

Memang keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.

Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.

Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.

Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, politisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut, setelah perubahan berlangsung.

Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.

Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).

Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).

Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.

Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.

Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1997-an.

Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter.

Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut.

Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam menggulingkan rejim Orde Baru.

Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum berjalan dan melawan segala bentuk penindasan di negeri ini.
| | 2 komentar Read More...